NAGEKEO - Pemerintah Daerah Kabupaten Nagekeo pada Senin (29/11/2021) kemarin, membuka ruang mediasi antar suku yang terdampak dari pembangunan Proyek Strategis Nasional yakni proyek pembangunan Waduk Lambo di Kabupaten Nagekeo, Provinsi Nusa Tenggara Timur.
Mediasi itu berlangsung di Aula VIP Kantor Bupati Nagekeo. Namun, mediasi yang dibangun atau dibuka oleh Pemda Nagekeo tersebut, justru menimbulkan persoalan baru dimana berdampak pada pengerjaan jalan/akses masuk menuju Waduk Lambo.
Ahwal dihentikannya aktifitas alat berat (exavator) oleh Ulayat Lambo yang saat ini tengah melakukan penggusuran sebagai tahap awal pengerjaan jalan menuju Waduk Lambo di Desa Labolewa, lantaran Ulayat Lambo kecewa dengan ruang mediasi yang dibuka oleh Pemda Nagekeo dimana ruang mediasi itu terkesan hanya memfasilitasi Suku Kawa dan Suku Rendu.
Hal itu dikatakan Krispinus Rada, salah seorang Tokoh Muda Ulayat Lambo kepada indonesiasatu.co.id, pada Selasa (30/11/2021) siang di kediamannya di Labolewa.
Dia menuturkan, sementara fakta histori berbicara terkait Ulayat Lambo dan Kawa adalah satu-kesatuan dan tidak boleh dipisahkan apalagi berurusan dengan Rendu.
"Sehingga pertanyaan kami, kenapa pemerintah hanya mau memediasi orang Kawa dan Rendu sementara orang Lambo mau diletakan kemana dan persoalan ini mau dilemparkan kemana dan siapa yang mau urus kalau bukan pemerintah dalam konteks mediasi di Kantor Daerah kemarin, " lirihnya.
Imbas daripada kekecawaan itu, kata Krispin, mereka merasa bahwa, harkat, martabat dan harga diri Ulayat Lambo dimata pemerintah seakan-akan tidak dianggap. Maka pihaknya mengambil sikap untuk menghentikan sementara penggusuran jalan dari Boanai.
"Karena apa, karena yang mengijinkan dan yang melakukan ritual awal ketika exavator itu akan melakukan penggusuran, itu orang Lambo yang melakukan ritual bukan orang Rendu bukan orang Kawa, " sebutnya.
Krispin menegaskan, penghentian aktifitas pengerjaan jalan itu dihentikan bersifat sementara, tidak untuk selamannya dengan catatan, pemerintah wajib hukumnya menyelesaikan dulu urusan Lambo dengan Rendu.
"Clear seperti orang Kawa dan orang Rendu kami minta seperti itu kenapa pemerintah bisa mba'bo antara Kawa dan Rendu dan kenapa Lambo tidak bisa. Kami kan minta hal yang sama kita selesaikan secara kekeluargaan, rasa persaudaraan dan etikat baik jangan lagi kita gambarkan soal sejarah segala macam. Itu karena kita sudah minta pemerintah untuk urus, maka kesimpulan akhirnya pasti jelas, "
"Kita mufakad, kalau bukan etika itu yang mereka tempuh, ya tidak usah kami ke pemerintah, cukup yang BPN, BPN dengan mekanisme dan prosedur ya sudah disitu, " ucap Krispin.
Krispin mengaku, bentuk kekecewaan lagi yang dirasakan oleh Ulayat Lambo karena ruang mediasi yang terjadi di Pemda Nagekeo kemarin, itu sebenarnya ruang yang diminta oleh pihaknya secara khusus.
"Karena pada saat itu di Hotel Sasandi orang Kawa tidak hadir, tetapi menjadi sangat aneh ketika ruang itu dibuka di Pemda, justru yang di-P1-kan atau yang diperioritaskan ialah orang Kawa. Sementara orang Lambo yang punya inisiatif meminta kepada pemerintah untuk mediasi ini malah ruang mediasi kami dikunci, tidak diberikan, "
"Ketika Berita Acara sudah dibuat, Asisten 1 Pemda Nagekeo langsung menutup kegiatan mediasi. Jadi ruang pembahasan untuk orang Lambo dimana, sehingga munculah pertanyaan, kami Lambo ini penting atau tidak dengan urusan pembangunan Waduk Lambo ini, " ungkapnya.
Dia juga menegaskan bahwa, dari 592 lebih hektare area genangan dan green balth itu, mayoritas ulayat paling banyak di genangi adalah Ulayat Lambo dimana genangan 300 sampai 400-an hektare sehingga, kata Krispin, wajar pada hari ini pihaknya menuntut.
"Pemerintah wajib hukumnya dengar kami, karena kami pemilik ulayat yang paling besar yang masuk dalam areal dampak. Sepanjang pemerintah tidak mau menyelesaikan ini maka, sepanjang itu pula penggusuran jalan stop jangan dilanjutkan. Tetapi kalau pemerintah punya niat baik dan secepatnya mau menyelesaikan maka setelah itu semuanya kembali normal, " harap Krispin.